Kangen Band ini Berasal dari Lampung dan digawangi oleh personel yang katanya berasal dari kaum marginal. Sekitar September 2006 rekaman album bajakannya beredar luas dan mengalahkan penjualan bajakan dari band yang sudah besar seperti Peterpan.
Oleh pelaku industri rekaman band ini diperlakukan sama dengan band top lainnya. Musiknya masuk rekaman dibawah major label, dibuatkan video klip, masuk TV, digelar show show bahkan pernah jadi bintang tamu acara talkshow populer Empat Mata.
Naluri bisnis para pelaku industri rekaman ini tidak meleset. Penjualan kasetnya laris manis hingga kini sudah mencapai 500 ribu copy lebih. Tentu pelaku bisnis senang, Kangen Band dan kru juga ikut senang. Apakah semua orang senang? Ternyata tidak.
Bagi orang orang yang mengatasnamakan bisnis tidak ada yang salah dengan Kangen Band. Tapi bagi kaum musisi terutama dari genre pop fenomena ini justru suatu langkah mundur buat musik Indonesia. Menurut kalangan musisi dan penikmat musik pop yang berkeberatan: musikalitas dari Kangen Band kurang greget dan menurunkan kualitas musik Indonesia khususnya pop.
Sampai disini kita bisa lihat ada dua kubu yang berseberangan yakni kubu pro dari Industri musik dan Kangen Band sendiri kemudian kubu kontra dari kalangan musisi. Sementara itu ada satu kubu walaupun sedikit banyak punya keberpihakan tapi pada dasarnya mereka ini netral yaitu pendengar musik pop pada umumnya.
Para pelaku industri musik jelas kepentingannya adalah bisnis yang tanggung jawabnya adalah mencari keuntungan sedangkan para musisi kepentingannya adalah musikalitas itu sendiri yang tanggung jawabnya adalah memajukan khazanah musik Indonesia.
Kaum musisi berkeberatan kualitas musik Indonesia dikorbankan demi untuk keuntungan bisnis. Mereka merasa dilecehkan apalagi melihat Kangen Band mulai menuai Award.
Kalau hanya sampai disini masih akan terasa normatif saja pertentangan ini. Kenyataannya para penikmat musik yang “netral” itu menunjukan perilaku yang membuat pelaku bisnis bereaksi secara alamiah untuk mencari keuntungan. Keadaan ini membuat pertentangan semakin panas dan memicu aksi beberapa kaum kontra yang mulai gerah dan tidak tahan.
Saya teringat beberapa tahun yang lalu terjadi polemik nasional pada musik dangdut yang menampilkan fenomena Idul Daratista dengan goyang ngebornya yang kontroversial itu. Kubu yang menentang adalah Rhoma Irama dkk. Pada awalnya Inul tidak terlalu menarik simpati karena musikalitasnya bagi para penikmat dangdut juga tidak terlalu menarik dan memang sampai sekarang tidak ada singlenya yang melekat dihati penikmat dangdut selain goyang ngebornya itu.
Tapi karena Rhoma Irama sebagai pemimpin kaum kontra Goyang Ngebor yang bertindak terlampau demonstratif membuat simpati penikmat musik yang “netral” dan sangat fluid itu menjadi berubah. Yang semula biasa biasa saja menjadi pro Inul karena bersimpati dengan figur yang teraniaya.
Bahkan saking dahsyatnya fenomena Inul itu sampai melibatkan penikmat musik dari genre yang lain selain dangdut. Banyak penikmat musik pop yang mengaku bahwa sebelumnya mereka tidak suka dangdut tapi setelah melihat Inul mereka jadi suka dangdut. Sungguh dahsyat dan bukan tidak mungkin perilaku yang sama juga terjadi pada fenomena Kangen Band kali ini, artinya dulu orang yang tidak terlalu suka akhirnya menjadi suka karena simpati.
Perlu diwaspadai untuk tidak bertindak berlebihan hingga bisa menimbulkan kesan Kangen Band teraniaya. Beredarnya musik rap yang penuh cacian dan makian terhadap Kangen Band sungguh suatu tindakan yang kontra produktif. Itu akan mengundang reaksi simpati kepada Kangen Band yang bisa membutakan kenyataan bahwa musikalitas Kangen Band memang kurang memiliki greget.
Orang orang yang bersimpati akan mendengar musik Kangen Band dengan semangat apologetic. Kalau sudah demikian maka sulit sekali menempatkan duduk persoalannya pada tempat yang benar.
Saya sendiri tidak suka dengan musik Kangen Band tapi itu bukan alasan untuk membenarkan saya mencaci maki mereka. Santai sajalah kalau memang tidak suka. Bagi saya Kangen Band bukan harga mati, siapa tahu mereka berubah bisa bikin musik lebih baik lagi.
Sudah sejauh ini saya masih belum masuk ke subtansi permasalahan kenapa Kangen Band disukai dan tidak disukai. Itu (selera musik) merupakan misteri. Bagaimana selera penikmat musik Indonesia tidak bisa didefinisikan tapi bisa diarahkan seperti yang kita lihat berikut ini.
Ketika tahun 80an dimana ada musik berkualitas seperti Fariz RM, Dian Pramana Putra, Vina Panduwinata, Iwan Fals, atau Chrisye tapi juga ada musik yang kurang berkualitas seperti musiknya RH, OM, TJP, AP… ah tidak usahlah saya sebutkan namanya, tidak enak.
Era 90an musik musik yang kurang berkualitas mulai tenggelam dan perhatian mulai ke musisi muda yang berbakat dan menghasilkan musik yang bagus seperti Kla Project, Kahitna, Slank, Dewa19, PADI dst.
Apalagi kemudian era 2000an dimana banyak sekali musisi musisi muda berbakat lahir seperti The Groove, Sheila On 7, Ungu, Samsons, Peterpan, Maliq & d’esential dll.
Usaha yang dilakukan oleh para musisi senior dan praktisi musik seperti wartawan, pengamat, kritisi, radio, televisi dan bahkan pemerintah dalam memberi ruang dan motivasi bagi musisi muda untuk menghasilkan karya yang berkualitas terasa membawa hasil.
Yang ingin saya sampaikan adalah penikmat musik itu memiliki selera yang liar dan tak bisa didefisinikan karena dia senantiasa berubah. Adalah tugas praktisi musik untuk mengarahkan ke arah yang lebih maju dan berkualitas.
Kini setelah hasil dari sekian dekade tanda tanda ke arah yang lebih baik mendapat tantangan dari keadaan itu sendiri. Mulai dari ancaman ambruknya industri rekaman sampai pada ingin mencapai sukses secara instant dari musisi muda dengan mengikuti berbagai macam kontes yang tidak kredibel ditelevisi itu.
Ini semua ancaman bagi perkembangan musik Indonesia. Perusakanya seperti efek domino. Bajakan dimana mana membuat major label mudah melihat mana musik yang digemari dan mana musik yang kurang digemari terlepas dari apakah musik itu berkualitas atau tidak.
Kita tidak bisa menyalahkan publik penikmat musik dengan alasan memang selera mereka begitu karena sekali lagi selera musik itu bersifat bebas, tidak bisa ditetapkan dan tidak boleh dibiarkan lari kearah yang lebih rendah. Adalah tanggung jawab kita semua untuk membentuk selera musik masyarakat Indonesia kearah yang lebih berkualitas.
Itulah sebabnya saya memahami para Music Director radio radio di Jakarta yang mengeluarkan maklumat bahwa stasiun radio mereka tidak dapat memutar lagu lagu Kangen Band.
David NaifBisa dimaklumi juga David Bayu Danangjoyo vokalis Naif pada acara ulang tahun majalah Rolling Stones yang ke-2 mengeluarkan statement:
Tega bener. Mau dikemanain musik Indonesia. ‘Kangen Band’ please deh jangan band-band kayak gitu lagi yang dikeluarin
Bagi outsider yang bukan praktisi musik mungkin statement diatas akan terasa keras dan sinis tapi bagi kalangan musisi itu bukan suatu kecemburuan terhadap sukses Kangen Band secara komersil tapi lebih kepada kekhawatiran terhadap arah perkembangan musik Indonesia.
Band band di Indonesia sudah silih berganti tampil kedepan yang jika mereka mendapatkannya dengan cara yang berkualitas maka mereka akan dihormati dan tidak akan mendapat cemooh dari musisi lain seperti Kangen Band.
Fenomena Kangen Band adalah renungan bagaimana perkembangan musik Indonesia itu bisa terpengaruh oleh keadaan industri musik yang ketika terpuruk akan mencari jalan pintas mencari keberlangsungan hidup dengan cara menjual musik minim greget kepada khalayak penikmat musik yang seleranya seharusnya dilindungi tapi malah dikorbankan.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "sejarah Kangen Band"
Posting Komentar