Suku
Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem
yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan
telah menggunakan alat / perkakas yang pada awal mula ditemukan
diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang
dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat
menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani
masih banyak mengenakan “koteka” (penutup Kemaluan Pria) yang terbuat
dari kunden/labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal
dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan
jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih
dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku
Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem. Merupakan salah satu Suku
Terbesar yang mendiami Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Selain Suku
Dani, Wilayah Pegunungan Tengah Papua didiami oleh suku, Ekari, Moni,
Damal, Amugme dan beberapa sub suku lainnya.
Sebagian
masyarakat suku Dani menganut agama Kristen atas pengaruh misionaris
Eropa yang datang ke tempat itu dan mendirikan misi misionarisnya ketika
pada tahun sekitar 1935 pemerintahan Belanda membangun kota Wamena.
Kondisi geografis dari tempat tinggal Suku Dani ini sendiri seperti
halnya daerah pegunungan tengah di Papua, terdiri dari gunung-gunung
tinggi dan sebagian puncaknya bersalju dan lembah-lembah yang luas.
Kontur tanahnya sendiri terdiri dari tanah berkapur dan granit dan
disekitar lembah yang merupakan perpaduan dari tanah berlumpur yang
mengendap dengan tanah liat dan lempung. Daerahnya sendiri beriklim
tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan
laut, temperatur udara bervariasi antara 80-200Celcius, suhu rata-rata
17,50 Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban
diatas 80 %, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata
tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.
Mitos
menceritakan bahwa orang pertama/ manusia pertama suku Dani bernama
Pumpa (Pria) dan Nali nali(Wanita) yang masuk ke Lembah Baliem dari arah
timur melalui sebuah Goa. Ada beberapa sumber yang mengatakan Goa
pertama tempat keluarnya manusia pertama ini berasal dari Goa Kali Huam
(Daerah Siepkosy), ada pula yang mengatakan dari Goa di Daerah Pugima
dan sebagian mengatakan bahwa keluarnya Manusia pertama suku dani ini
berasal dari dari Pintu masuk angin di daerah Kurima.
Hutan-hutan
di mana suku Dani bermukim sangat kaya akan flora dan fauna yang tak
jarang bersifat endemic seperti cenderawasih, mambruk, nuri
bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang beraneka ragam warna dan
coraknya. Untuk budaya dari Suku Dani sendiri, meskipun suku Dani
penganut Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak
budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya
terhadap rekwasi. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian,
tarian dan persembahan terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan
biasanya terjadi karena masalah pelintasan daerah perbatasan dan wanita.
Pada
rekwasi ini, para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak
babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan
bunga-bungaan di bagian tubuh mereka. Tangan mereka menenteng
senjata-senjata tradisional khas suku Dani seperti tombak, kapak, parang
dan busur beserta anak panahnya.
Salah
satu kebiasaan unik lainnya dari suku Dani sendiri adalah kebiasaan
mereka mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme dan atau
kisah-kisah sedih untuk menyemangati dan juga perintang waktu ketika
mereka bekerja. Untuk alat musik yang mengiringi senandung atau dendang
ini sendiri adalah biasanya adalah alat musik pikon, yakni satu alat
yang diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping
sebagai pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi ganda sebagai isyarat
kepada teman atau lawan di hutan kala berburu.
Nama
Dani sendiri sebenarnya bermakna orang asing, yaitu berasal dari kata
Ndani, tapi karena ada perubahan fenom N hilang dan menjadi Dani saja.
Suku Dani sendiri sebenarnya lebih senang disebut suku Parim. Suku ini
sangat menghormati nenek moyangnya dengan penghormatan mereka biasanya
dilakukan melalui upacara pesta babi.
Untuk
bahasa sendiri, suku Dani memiliki 3 sub bahasa ibu secara keseluruhan,
dan ketiganya termasuk bahasa-bahasa kuno yang kemudian seiring
perjalanan waktu, ketiga sub bahasa ibu ini pun memecah menjadi berbagai
varian yang dikenal sekarang ini di Papua. Sub bahasa ibu itu adalah;
1. SubkeluargaWano
2. Sub keluarga Dani Pusat yang terdri ataslogat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa
3. Sub keluarga Nggalik – Dugawa.
Tak
bisa kita pungkiri lagi kalau suku Dani dan seluruh suku yang mendiami
Lembah Baliem di Wamena Papua ini merupakan kekayaan budaya yang tak
ternilai dan haruslah di lestarikan. Wisata budaya dapat digunakan untuk
memperkenalkan keunikannya ke seluruh penjuru dunia.
Kepercayaan
Sistem
Religi / Kepercayaan Dasar religi masyarakat Dani adalah sama uraian
yang di atas yaitu menghormati roh nenek moyang dan juga
diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep
kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan
sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan
kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain :
- kekuatan menjaga kebun
- kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
- kekuatan
menyuburkan tanah Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat
lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka
Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga
masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.
Sistem Kekerabatan
Masyarakat
Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak
tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika
rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung
aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit
rumah tersebut adalah sili.
Sistem
Kekerabatan Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga yaitu kelompok
kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.
- Kelompok
kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga
luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama
– sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
Pernikahan
orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini
tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang disebut siimo. Sebuah desa
Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang dihuni 8 & ndash; 10
keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang
suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah
Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang
Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya
berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar
Moety).
- Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
- Kelompok
teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku
bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok
keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
Pernikahan
Pernikahan
orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini
tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa
Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang dihuni 8 & ndash; 10
keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang
suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah
Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang
Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya
berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar
Moety). b. Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan
beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar) c.
Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat
suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk
kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak
laki-laki).
Kesenian
Kesenian
dan Kerajinan Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara
membangun tempat kediaman, seperti disebutkan di atas dalam satu silimo
ada beberapa bangunan, seperti : Honai, Ebeai, dan Wamai.
Selain
membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan
khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang
Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan
tersebut antara lain : Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.
Pendidikan
Sebagaimana
suku – suku pedalaman Papua seperti halnya suku Dani umumnya tingkat
pendidikan (formal) rendah dan kesadaran untuk menimba ilmunya juga
masih kurang. Namun, sejak masa reformasi beberapa belas tahun silam
suku Dani sudah banyak yang menuntut ilmu ke luar daerahnya. Salah
satunya adalah Meri Tabuni.
Politik Suku Dani Yang Bersahaja
Sistem
Politik dan Kemasyarakatan Masyarakat Dani senantiasa hidup
berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani
memiliki ciriciri sebagai berikut :
- Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
- Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
- Organisasi
kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga
dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
Suku
Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang
memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang
posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri &
ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik
Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap.
Waregma. Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali
istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.
Pada
tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua tetapi masih
mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun
kampungnya. Urusan tersebut antara lain : Pemeliharaan kebun dan Bahi,
serta Melerai pertengkaran.
Pemimpin
federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta
lain. Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi
biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak,
syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani : Pandai bercocok tanam,
bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik
dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.
Sistem Ekonomi
Sistem
Ekonomi Nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses
perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan
Pasifik Barat Irian Jaya.
Kemungkinan
pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu baru
mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang
berkesinambungan dan kontak budaya menyebabkan pola penanaman yang
sangat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem perkebunan
ubijalar, seperti sekarang.
Mata Pencaharian
Mata
pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak
babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk
dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah berkebun.
Tanaman-tanaman mereka yang lain adalah pisang, tebu, dan tembakau.
Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga jenis, yaitu:
- Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap
- Kebun-kebun di lereng gunung
- Kebun-kebun yang berada di antara dua uma
Kebun-kebun
tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kelompok
kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah
sungai, gunung, atau jurang. Dalam mengerjakan kebun, masyarakat suku
Dani masih menggunakan peralatan sederhana seperti tongkat kayu
berbentuk linggis dan kapak batu.
Selain
berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi
dipelihara dalam kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai = rumah).
Kandang babi berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang
bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam kandang ini terdiri dari
petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi
bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan kayu bakar dan alat-alat berkebun. Bagi suku Dani babi
berguna untuk: 1) dimakan dagingnya 2) darahnya dipakai dalam upacara
magis 3) tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan 4) tulang rusuknya
digunakan untuk pisau pengupas ubi 5) sebagai alat pertukaran/barter 6)
menciptakan perdamaian bila ada perselisihan
Suku
Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di
sekitarnya. Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat
kapak, dan hasil hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu
burung.
Rumah Adat
Honai,
rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar,
berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya
persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe’ai (Honai Perempuan).
Perbedaan
antara Honai dan Ebe’ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai
dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe’ai (Honai Perempuan) dihuni oleh
perempuan. Komplek Honai ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah
Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik itu dekat jalan besar (dan
satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak bukit,
di kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.
Rumah
bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya.
Jarak dari permukaan rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter.
Di dalamnya ada 1 perapian yang terletak persis di tengah. Tak ada
perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu sederhana namun
bersahaja.
Atap
jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke
dalam Honai. Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan
dihangatkan oleh asap dari perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu
sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama. Selama pintu masih terbuka
(dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.
Selain
jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk
menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan
padi. Ada pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut
terakhir itu bisa ditemukan di Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2
mumi paling terkenal di Lembah Baliem.
Bentuk Honai
Bentuk
Honai yang bulat tersebut dirancang untuk menghindari cuaca dingin
ataupun karena tiupan angin yang kencang sehingga rumah yang sederhana
ini dapat bertahan bertahun-tahun lamanya.
Atap Honai
Honai
memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk
melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai dinding ketika
hujan turun.
Atap
honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari
kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di bagian
atas sehingga membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di tingkat
paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup
atap terbuat dari jerami yang diikat di luar dome. Lapisan jerami yang
tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari.
Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Karena jerami
ringan dan lentur memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu
menyerap goncangan gempa. Sehingga, apabila terjadi gempa sangat kecil
kemungkinan Rumah Honai akan rubuh.
Dinding & Bukaan
Honai
mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil, jendela-jendela
ini berfungsi memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu, ada pula
Honai yang tidak memiliki jendela, Honai tanpa jendela pada umumnya
dipergunakan untuk kaum ibu/perempuan.
Jika
anda masuk ke dalam honai ini maka di dalam cukup dingin dan gelap
karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Pintunya begitu
pendek sehingga harus menunduk jika akan masuk ke rumah Honai. Dimalam
hari menggunakan penerangan kayu bakar di dalam Honai dengan menggali
tanah didalamnya sebagai tungku selain menerangi bara api juga
bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika tidur mereka tidak
menggunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan kering yang
dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah
terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.
Ketinggian
Rumah
Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6 meter. Rumah
Honai ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3
bangunan terpisah. Satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat
(tidur). Bangunan kedua untuk tempat makan bersama dimana biasanya
mereka makan beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk kandang ternak
terutama babi. Rumah Honai juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat.
Lantai dasar dan lantai satu di hubungkan dengan tangga yang terbuat
dari bambu/kayu. Biasanya pria tidur melingkar di lantai dasar , dengan
kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya, demikian juga cara tidur
para wanita di lantai satu. Dalam peraturan adat Honai, pria dan wanita
(termasuk anak-anak) tidak boleh tidur disatu tempat secara bersamaan
hukumnya tabu.
Fungsi Honai
Rumah Honai mempunyai fungsi antara lain:
- Sebagai tempat tinggal
- Tempat menyimpan alat-alat perang
- Tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna di masa depan
- Tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam pertempuran atau perang
- Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni sejak dulu
Filosofi Honai
Filosofi bangunan Honai yang bentuknya bulat melingkar adalah :
- Dengan
kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya
yang telah diperthankan oleh nene moyang kita dari dulu hingga saat ini.
- Dengan tinggal dalam satu honai maka kita sehati, sepikir dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan
- Honai merupakan symbol dari kepribadian
Bahan Pembuat
Kebiasaaan
dari suku atau orang Dani dan Yali dalam membangun Honai yaitu mereka
mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu yang lama
atau bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan yang digunakan
sebagai berikut:
- Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah Honai
- Kayu buah besar
- Kayu batu yang paling besar
- Kayu buah sedang
- Jagat (mbore/pinde)
- Tali
- Alang-alang
- Papan yang dikupas
- Papan alas dll.
Adat Menghormati Nenek Moyang
Untuk
mnghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang
disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara
keagamaan untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk
mengawali dan mengakhiri perang.
Tradisi Potong Jari
Banyak
cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota
keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan
kembali perasaan sakit kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani di
Papua, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu
anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi
memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang
meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku
Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong
jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan
anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya
untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa
seseorang di dalam keluarga yg berduka.
Mengapa Jari Yang Di Potong
Bagi
Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai symbol kerukunan, kebersatuan
dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam
penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu
perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan
setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan
kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling
bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa
berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa
mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah
satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan
berkuranglah kekuatan. Alasan lainya adalah “Wene opakima dapulik
welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu
keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu
bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah
penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan
luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh
jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin
karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada
keluarga yang meninggal dunia. Tradisi Potong Jari di Papua sendiri
dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda
tajam seperti pisau, kapak atau parang. Ada juga yang melakukannya
dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas
tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati
kemudian baru dilakukan pemotongan jari. Selain tradisi pemotongan jari,
di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung.
Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan
oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur
mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke
alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah. Beberapa sumber
ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini sudah hampir
ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena
adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan
tengah Papua. Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan
wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.
punten.... saya ijin copas ya...??? trims
BalasHapusOk ....
BalasHapuslanjut
BalasHapus